Rabu, 22 Desember 2010

tips mudah memulai usaha

bagi teman2 yang mau mulai usaha.. nech da tips - tips mudah buat kalian yang masih pemula..

1. Miliki Mimpi!
Awal dari terwujudnya kesuksesan besar adalah mimpi besar. Bermimpi memiliki tempat usaha di mana-mana, cabang di mana-mana, mendirikan dua sampai tiga perusahaan sekaligus, omzet mencapai milyaran rupiah, banyak pelanggan dalam negeri maupun luar negeri, dan menuai kesuksesan-kesuksesan masa depan lainnya. Mimpi ini Anda jadikan sebagai motivasi untuk menggali ide-ide kreatif dalam menciptakan sebuah usaha. Nikmati mimpi tersebut tanpa menghentikan langkah nyata berusaha.

2. Obsesi dan Hobby
Tanamkan obsesi kuat meraih cita-cita Anda. Mulailah memperhatikan hobi Anda yang belum sempat Anda lirik sekalipun. Hobi menulis, bercerita, memasak, bermain bulu tangkis, main catur, membuat desain dan hobi lain yang mungkin hanya dipandang sebelah mata saja. Rahasianya ada pada kesungguhan hati Anda untuk menekuni salah satu hobi Anda. Ambilah satu dari hobi Anda yang menurut Anda cocok untuk dijadikan usaha. Berikan sepenuh hati Anda dalam menjalankan hobi Anda. Satu hal yang harus Anda pegang, semua berawal dari hal kecil, dan kerjakeras.

3. Sadari Realitas
Meskipun saya menyarankan bermimpi hal besar, saya katakan itu guna motivasi dan pencarian obsesi Anda yang sebenarnya. Di kala sudah bermimpi maka kembalilah pada kenyataan. Lihatlah apa-apa yang sudah Anda miliki dan hitung seberapa besar modal yang harus digunakan untuk menjalankan bisnis Anda. Mulailah dari apa yang Anda merasa ahli dibidangnya. Tidak perlu membandingkan dengan orang lain. Hanya fokus pada usaha baru Anda dan rencana-rencana untuk mengembangkannya.

4. Memiliki Rencana Bertahap
Tidak ada yang langsung jadi di dunia ini. Semua dimulai melalui tahapan-tahapan kejadian. Begitu pula Anda yang baru merintis usaha, apalagi masih hijau. Hal pertama pastilah masalah modal. Jika memang modal Anda hanya sedikit, ikuti saja peraturannya. Anda wajib berpikir dua kali dalam menggunakan modal yang ada. Rencanakan sesuai kepentingan saja. Yakinlah bahwa keuntungan akan datang sendiri jika menjalankan tahap usaha dengan benar.

5. Menyusun Rencana Kreatif
Menjalankan usaha tidak sederhana jika menginginkan hasil maksimal. Berusahalan memiliki ide bisnis kreatif. Baik dari segi produk yang sedang Anda usahakan, pengelolaan modal, penjajakan jaringan, atau rencana kretif lain seperti pelayanan customer, bonus-bonus produk, launching produk, dal sebagainya.

6. Miliki Ide Antisipasi Masalah Bisnis
Dunia bisnis sarat dengan ketegangan. Bila kita tidak menyiapkan beberapa senjata yaitu rencana-rencana kreatif, bisa jadi malah terjebak dalam lingkar bisnis tidak menyenagkan. Awal bisnis yang baik memerlukan susunan rencana cadangan. Karena tidak semua berjalan mulus. Jika suatu saat usaha Anda mengalami goncangan baik modal maupun kinerja usaha, maka susunan rencana Anda yang lain siap menolong Anda.

7. Rancang Anggaran Anda
Setelah beberapa waktu usaha Anda berjalan dan mulai terlihat usaha makin menguntungkan, segeralah menyusun anggaran sesuai pos-pos penting untuk kelangsungan usaha Anda. Tempatkan pengeluaran dan pemasukan dalam wadah yang berbeda. Berhati-hatilah di area anggaran ini, karena jika tidak tepat Anda akan kesulitan menanganinya.

Semoga Berhasil!

Riba dari pendeta Nasrani sampai MC kinsey

Dan jika kamu meminjamkan sesuatu kepada orang karena kamu berharap akan menerima sesuatu dari padanya, apakah jasamu? Orang-orang dosa pun meminjamkan kepada orang berdosa, supaya mereka menerima kembali sama banyak. Tapi kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan dengan baik tidak mengharapkan balasan. Maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Tuhan yang Maha Tinggi, sebab Ia baik terhadap orang-orang yang tidak mau berterima kasih dan terhadap orang-orang jahat. (Lukas 6:34-35).
Petikan Lukas 6:34-35 itu dengan gamblang menunjukkan dilarangnya praktik membungakan uang (riba). Larangan riba, ternyata terdapat baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Karena itu, para pendeta Nasrani pada awal abad I-XII menyerukan dihapusnya praktik itu.
Mereka meminta agar bunga dikembalikan kepada pemiliknya. Bunga dalam pandangan mereka adalah bentuk yang diminta sebagai imbalan yang melebihi jumlah barang yang dipinjamkan di awal. Termasuk di sini harga barang yang tinggi untuk penjualan kredit, juga termasuk bunga terselubung.
Sejalan dengan waktu, larangan itu mulai dikritisi oleh para scholar Kristen. Di antara mereka ada Robert of Courcon (1152-1218), William A (1160-1220), St Raymond of Pennatore (1180-1278), St Bonaventure (1221-1274), dan Thomas Aquinas (1225-1274). Para cendekiawan Kristen itu memilah bunga menjadi dua interest dan usury.
Yang menyebut bunga sebagai usury itu berasal dari kata Latin usura yang berarti 'menggunakan' (use) sesuatu. Dalam konteks ini menggunakan modal, sehingga usury adalah harga dari menggunakan uang. Sedang yang menyebut interest berasal dari akar kata bahasa Latin interio yang berarti 'untuk kehilangan' (to be lost).
Ada juga yang mengatakan interest berasal dari bahasa Latin interesse yang bermakna 'datang di tengah' (to come in between) yaitu kompensasi kerugian yang muncul di tengah transaksi bila si peminjam tidak mengembalikan sesuai waktu. Dari sinilah kemudian penyimpangan ajaran gereja muncul, karena bunga dipandang sebagai kompensasi kehilangan atau kerugian.
Pelaku yang membungakan pinjaman mulai mendapatkan angin ketika muncul para reformis seperti Martin Luther (1483-1536), Zwingli (1454-1531), Bucer (1491-1551), dan John Calvin (1509-1564). Mereka berpendapat bunga itu dosa kalau memberatkan. Mereka juga merekomendasikan untuk tidak mengambil bunga dari orang miskin. Dengan begitu secara implisit bunga tidak berdosa bila dikenakan dengan cara yang tak memberatkan. juga, bila bunga dipungut dari orang kaya. Pada periode itulah Raja Henry VIII memutuskan berpisah dengan gereja Katolik Roma, dan pada tahun 1545 riba resmi dibolehkan di Inggris asalkan tidak lebih dari 10 persen. Pada tahun 1571 Ratu Elizabeth I kembali membolehkan riba. Dan dibebaskannya praktik riba itu terus berlangsung hingga sekarang.
Kini umat Nasrani tidak merasa 'berdosa' lagi melakukan praktik itu. Sementara umat Islam -- di Indonesia -- terbelah dalam menanggapi riba bank. Seperti yang telah dilansir dari penelitian Bank Indonesia, 55 persen responden di Jawa (kecuali DKI), mengatakan riba tidak bertentangan dengan agama alias 'halal'.
Islam dan Nasrani yang sama-sama agama samawi menegaskan, riba tidak boleh dilakukan. Tapi waktu sangat perkasa mengubah keyakinan itu. Waktu pula yang telah dan akan terus mengingatkan bahaya riba dan pembungaan.
Pengalaman Indonesia mengalami krisis yang panjang, adalah salah satunya. Ketika Indonesia di puncak krisis (1997-1998), bunga telah menunjukkan eksploitasinya yang luar biasa bagi kehidupan ekonomi bangsa.
"Deposan mendapatkan bunga 60-70 persen, sementara bank-bank yang baik maupun buruk mengalami kesulitan yang luar biasa, bahkan sebagian besar dari bank-bank tersebut bangkrut," demikian analisis Mc Kinsey & Co.
Waktu telah berbaik hati. Ingatan kita yang pendek disadarkan kembali betapa rusaknya praktik bunga dengan datangnya krisis. Bila tidak sadar juga, paling-paling, waktu akan melibas lagi dengan krisis yang lebih dalam.
(http://www.fatimah.org/artikel/riba.htm)

Minggu, 19 Desember 2010

KEBIJAKAN PENDIDIKAN, ANTARA EKONOMI DAN POLITIK (Makalah pancasila)

Ketika istilah political economy of education digunakan sebagai kata kunci pencarian dengan sasaran situs global, misalnya, menunjukkan betapa telah cukup banyak tulisan dan hasil kajian ekonomi politik pendidikan. Namun demikian, ketika istilah ekonomi politik pendidikan digunakan sebagai kata kunci pencarian dengan sasaran situs-situs di Indonesia, tak satu pun tulisan dan hasil kajian berbahasa Indonesia yang dipublikasikan melalui internet. Istilah ekonomi politik terkesan belum begitu dikenal dan digunakan oleh para kritisi kebijakan pendidikan Indonesia. Kebanyakan kritik atas kebijakan pendidikan di Indonesia lebih bertumpu pada hasil perenungan, kesimpulan akal sehat, dan sedikit sekali yang mendasarkan diri pada kajian yang lebih makro seperti ekonomi politik pendidikan.
Layanan pendidikan niscaya memerlukan sumberdaya yang niscaya juga terbatas, maka telaah dan penyelesaian persoalan pendidikan juga memerlukan penghampiran analitik ekonomi. Diletakkan dalam perbincangan pendidikan di Indonesia, maka pertanyaan dasar ilmu ekonomi menjadi sangat penting. Mengkaji ekonomi pendidikan berarti menjelaskan dan menafsirkan perilaku manusia dalam mengambil keputusan tentang pengalokasian sumberdaya yang terbatas bagi pemenuhan kebutuhan akan barang dan jasa.
Andai Indonesia memiliki sumberdaya tak terbatas untuk dialokasikan dalam bidang pendidikan, suatu tinjauan ekonomi, politik, atau sekaligus ekonomi politik tidak merupakan suatu keharusan mendesak. Namun demikian, Indonesia jelas bukan suatu rumah-tangga dengan sumberdaya tak terbatas. Betapa alot negara-bangsa ini menetapkan undang-undang yang menegaskan prosentase anggaran minimum sektor pendidikan, serta betapa sulit negara-bangsa ini memenuhi ketetapan anggaran sebesar 20% dari total anggaran belanja negara, menunjukkan betapa tak seimbang antara sumberdaya yang tersedia dengan kebutuhan yang harus dipenuhi. Persoalan ini masih ditambah dengan kenyataan akan perbedaan cara pandang dan kepentingan di kalangan para pengambil kebijakan. Karena itu, suatu kajian berpenghampiran ekonomi politik, baik sebagai dasar maupun sebagai kritik kebijakan dan praksis pendidikan perlu dilakukan.
Kajian ekonomi pendidikan, merujuk pada dasar ilmu ekonomi, meneliti cara-cara rumit masyarakat untuk menjawab dan menentukan tiga persoalan, yaitu:
1. layanan pendidikan macam apa dan seberapa banyak yang harus disediakan?
2. dengan perpaduan cara-cara, sarana dan prasarana apa saja layanan pendidikan disediakan?
3. bagaimana pula layanan pendidikan akan disalurkan kepada pribadi-pribadi atau kelompok warga masyarakat? Siapa memetik manfaat dan siapa membayar tagihan?
Kehadiran dan kebutuhan akan penghampiran ekonomi terhadap pendidikan telah memperoleh pembenaran, tidak hanya pada aras mikro melalui konsep-konsep seperti pembiayaan pendidikan (educational cost), pemborosan dalam pendidikan (wastage in education), efisiensi internal (internal eficiency), tingkat keuntungan individual (individual rate of return), dan tingkat keuntungan sosial (social rate of return), tetapi juga pada aras makro seperti konsep-konsep investasi sumberdaya manusia (investment in human capital), permintaan dan penawaran (demand and supply), limpahan kemanfaatan sosial (social spillover benefits), biaya tersurat (explicit costs), biaya tersirat (implicit costs), penumpang gelap (free riders) dan sebagainya.
Kembali kepada pertanyaan apakah layanan pendidikan merupakan jasa publik atau pribadi, telah menyisakan satu lagi persoalan yang lebih bermuara pada politik. Perbedaan mendasar antara penghampiran ekonomi dengan penghampiran politik terletak pada ranah kepentingan para pelaku masing-masing. Kalau perilaku masyarakat ekonomi (economic society) niscaya berpaling kepada pertanyaan pengorbanan pada keuntungan, maka perilaku masyarakat politik (political society) senantiasa memusatkan perhatian kepada pertanyaan penggunaan pada pengendalian kekuasaan.
Perilaku politik warga masyarakat politik, merujuk pada teori pilihan rasional (rational choice theory) dan teori pilihan publik (public choice theory), dipandu oleh kehendak mencapai tujuan dengan cara paling cepat dan pengorbanan paling sedikit. Dengan demikian, kaidah dasar perilaku ekonomi juga berlaku dalam perilaku politik. Ekonomi politik, sebagai bidang kajian yang mensepadankan perilaku ekonomi dengan perilaku politik, merupakan penggunaan konsep-konsep ekonomi untuk memahami dan menjelaskan masalah-msalah dan proses-proses politik. Ekonomi politik, karena dilandasi oleh pemikiran akan tali-temali antara gejala politik dan gejala ekonomi, juga menunjuk pada analisis kebijakan publik dengan menekankan faktor-faktor ekonomi politik.
Bila pengalokasian sumberdaya untuk sektor pendidikan diawasi sebagai bagian dari kebijakan ekonomi negara, maka setiap perumusan, pelaksanaan dan bahkan pembahasan tentang kebijakan ekonomi negara, tidak bisa dipisahkan dari persoalan politik, khususnya keberadaan dan ketiadaan otonomi negara dalam tikaian kepentingan kelas masyarakat. Sebagai ranah pokok politik, kekuasaan tidak lain adalah kekuatan pemaksa untuk mempengaruhi orang lain dan keputusan untuk mengalokasikan sumber-sumber.
Kendati persoalan otonomi negara telah lama diperbincangkan, tidak ada teori tunggal yang mampu menjelaskan tali-temali negara dengan kelas masyarakat atau kelompok kepentingan. Persoalan terus bergulir, karena setiap negara memiliki kendali maksimal atas sumberdaya dan kekuasaan. Jadi jelas bahwa kehadiran negara sama sekali tidak bisa dihindarkan dalam menjelaskan hubungan antar kelas masyarakat. Lebih-lebih secara nyata, negara selalu berarti sejumlah orang yang melaksanakan fungsi pemerintahan. Mereka adalah para individu pengambil kebijakan, para birokrat dan para administrator yang karena kedudukannya memiliki kewenangan atas orang lain dan sumberdaya lain.
Dari arah sebaliknya, pertemuan antara teori politik dan ekonomi menetapkan lapangan kajian ekonomi politik yang menyangkut pertanyaan tentang bagaimana di satu pihak, kekuatan-kekuatan ekonomi menciptakan dan menstrukturkan kekuasaan politik, dan di lain pihak, bagaimana sistem politik berperan menentukan rasionalitas ekonomi.
Setelah mencermati bagaimana kekuatan ekonomi mempengaruhi arah kebijakan pendidikan, para pengkaji ekonomi politik pendidikan sampai pada simpulan bahwa sekolah ikut bertanggungjawab terhadap alokasi peluang ekonomi karena sekolah ada dan diadakan untuk meningkatkan nilai ekonomi peserta didik yang lulus. Walaupun sekolah bisa saja menjadi tangga bagi para pendaki kelas sosial, tetap saja ada cukup bukti bahwa sekolah berperan melanggengkan dan mereproduksi struktur kelas sosial.
Secara teoretik, kancah hubungan antar kelas ekonomi masyarakat memberi tiga kemungkinan kedudukan dan peran negara. Kemungkinan pertama, menggunakan istilah kasar Marxisme, bisa saja negara menjadi panitia pelaksana kelas borjuasi dan kelas penguasa (an executive committee of the bourgeoisie and ruling class). Negara semata-mata melakukan pemerasan terhadap kelas social atas. Secara idealistik, ini tampil dalam ideologi dan sistem ekonomi liberalisme dan kapitalisme.
Kemungkinan kedua, negara dikuasai oleh kelas social atas, sehingga mampu memaksa kelas borjuasi untuk tunduk pada kepentingan kelas proletar. Bila diperlukan, apa pun barang modal yang memungkinkan para pribadi-pribadi melakukan pemerasan terhadap orang lain, diambil alih hak pemilikannya oleh negara sebagai representasi masyarakat (society) atau komunitas (community). Secara idealistik, ini tampil dalam ideologi dan sistem ekonomi sosialisme dan komunisme.
Kemungkinan ketiga, negara diperlakukan sebagai sesuatu (entity) yang memiliki otonomi tersendiri. Menurut gagasan ini, negara bukan merupakan pelaku pasif di tengah berbagai kelompok kepentingan yang bersaing secara horizontal, bukan pula suatu panitia pelaksana kelas penguasa, tetapi lebih merupakan kekuatan dinamik yang independen
1. The Economic Role of the State
Sebagai tipe ideal, model peran ekonomi negara memang sulit diamati dan ditemukan sebagai gejala empirik. Sebab, apa yang sebenarnya sedang berlangsung adalah tarik-ulur kepentingan dalam proses penyusunan kebijakan publik dengan negara tidak hanya sebagai aktor dengan kepentingan tersendiri, tetapi juga menjadi perebutan kekuasaan, serta persaingan dan pertikaian antar kepentingan.
Secara linier, proses pengambilan kebijakan berangkat dari para pakar yang mengembangkan prediksi dan preskripsi sebagai masukan bagi pengambil kebijakan. Dalam proses penetapan kebijakan ini, tarik-ulur kepentingan terjadi antara: (1) kekuatan-kekuatan yang berpusat pada masyarakat, yakni kelas-kelas masyarakat, kelompok kepentingan, partai politik dan para pemilih, dan (2) kekuatan-kekuatan berpusat pada negara, yakni teknokrat, birokrat, dan kepentingan negara.
Menurut pendekatan yang berpusat pada masyarakat, negara bersifat pasif. Ada masukan masyarakat kepada pemerintah, sehingga pilihan kebijakan merupakan suatu ubahan bergantung (dependent variable). Kebijakan ekonomi yang diambil oleh pemerintah merupakan wujud dari kehendak dan tuntutan kekuatan-kekuatan dalam masyarakat. Sebaliknya, pendekatan yang berpusat pada negara memandang bahwa negara memiliki tujuan tersendiri. Tidak hanya karena negara bersifat otonom, tetapi juga karena secara empirik para elit politik memang bersifat aktif.
2. The Policy Formation Prosess
Model teoretik yang diperkenalkan oleh para penggagas ekonomi politik baru tersebut bisa digunakan untuk mencermati, misalnya tarik-ulur antara pranata politik seperti partai politik dan lembaga legislatif, lembaga eksekutif seperti Presiden dan Wakil Presiden serta para pejabat negara lainnya, lembaga judikatif seperti Mahkamah Konstitusi, dan kekuatan berpusat pada masyarakat seperti Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) serta Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI).
Wakil Presiden Jusuf Kalla mengungkapkan pemerintah masih sulit merealisasikan anggaran pendidikan 20% dan belum dapat memastikan kapan bisa memenuhi anggaran tersebut. Wapres mengungkapkan hal itu usai membuka program kaderisasi bidang pendidikan Partai Golkar di Jakarta, Senin (17/4). “Pasti kita berkewajiban memenuhinya. Tapi, kondisi kita masih sulit. Walaupun suka tidak suka keputusan MK itu harus dipenuhi,” ujar Jusuf menjawab pertanyaan Media Indonesia.
Pada saat UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) disahkan, pemerintah berkomitmen anggaran 20% yang diamanatkan UU tersebut baru akan dipenuhi pada 2009 lalu. Namun, keputusan itu kemudian digugat Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) serta Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI).
Kedua organisasi itu mengajukan gugatan pada Mahkamah Konstitusi. Maret lalu, MK mengabulkan tuntutan keduanya. Sehingga, pemerintah wajib memenuhi anggaran 20% itu pada saat keputusan itu dikeluarkan. Sehingga, pemerintah saat ini diwajibkan meningkatan persentase anggaran pendidikan dua kali lipat mengingat dana yang dialokasikan pada 2006 hanya 9,1%.
Kalla menegaskan, keputusan MK tersebut harus disesuaikan dengan kondisi keuangan pemerintah saat ini. Jika pemerintah memaksakan memenuhi tuntutan MK tersebut saat ini, pemerintah terpaksa harus menutup anggaran untuk sektor yang lain. Padahal, alokasi anggaran untuk pembangunan di sektor-sektor lainnya, termasuk kesehatan serta penyediaan infrastruktur tak kalah pentingnya. Ketika ditanya apakah pemerintah akan melakukan percepatan pemenuhan anggaran 20% itu, Wapres mengaku belum dapat memastikannya (Media Indonesia On-line, Senin, 17 April 2006).
Secara normatif, praktik ekonomi politik Indonesia tidak berkehendak menjadi negara eksploitatif. Ini tampak dari komitmen tertulis untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat, dan menempatkan pencerdasan bangsa serta kesejahteraan umum sebagai tujuan negara. Karena itu, pada dasarnya Indonesia bermaksud menjadi salah satu dari negara demokrasi sosial (social-democratic state) atau negara kesejahteraan (welfare state), yakni negara dengan pemerintah yang mempersembahkan suatu proposi sangat besar dari kegiatan dan pengluarannya bagi penyediaan secara langsung barang dan jasa untuk dikonsumsi oleh individu atau keluara yang memenuhi syarat kualitatif.
Kebijakan pemberian subsidi Biaya Operasional Sekolah (BOS) menegaskan bahwa pendidikan merupakan layanan publik yang karena itu Indonesia menganut prinsip negara kesejahteraan. Subsidi pemerintah, mengikuti gagasan dasarnya, seharusnya membantu memungkinkan suatu badan usaha untuk menjual satu atau lebih produk mereka dengan harga di bawah biaya produksi atau sekurang-kurangnya di bawah harga pasar bebas.
Subsidi secara khusus dialokasikan untuk mempromosikan agar terjadi konsumsi yang lebih meluas terhadap barang atau jasa yang oleh pemerintah dinilai amat penting atau sangat bernilai.
Kalau sektor kesehatan dan pendidikan mendapatkan subsidi pemerintah, misalnya, itu diyakini bahwa pendidikan sangat diperlukan untuk kesejahteraan pribadi dan sosial. Sebaliknya, bila kesehatan dan pendidikan tidak cukup memperoleh subsidi pemerintah, yang berarti diserahkan saja kepada mekanisme pasar, menunjukkan bahwa pemerintah kurang memberi bobot besar terhadap layanan pendidikan dan kesehatan. Karena itu, organisasi ekonomi pendidikan, apakah lebih mengandalkan subsidi pemerintah atau pembiayaan pribadi, terbentuk baik oleh kekuatan politik maupun kekuatan mekanisme pasar.
Secara teoretik, penyediaan pendidikan publik akan menghasilkan proses pengalihan sumberdaya dari individu-individu berpenghasilan lebih tinggi kepada mereka yang berpenghasilan lebih rendah. Negara, dalam konteks demikian, digambarkan sebagai bentuk pelembagaan nilai-nilai altruistik, karena mengelola hasil perilaku altruistik warga negara yang kaya untuk disebarkan kembali demi pemberdayaan yang miskin. Namun demikian, selalu saja muncul pertanyaan: benarkah aliran sumberdaya dari yang lebih kaya kepada yang lebih miskin tersebut terjadi? Apakah bukan sebaliknya yang secara empirik terjadi?
Perlombaan besar-besaran berbagai biaya pendidikan yang harus dibayar oleh peserta didik dengan nama-nama aneh antar lembaga pendidikan mengesankan bahwa pendidikan merupakan layanan pribadi yang mutu dan harganya diserahkan kepada mekanisme pasar. Ini mengesankan bahwa pendidikan telah menjadi lahan bisnis yang cukup menjanjikan, terutama bila dimaksudkan untuk melayani kelas mapan.
Ada dampak memprihatinkan dari pertumbuhan industri pendidikan ini, yaitu bahwa pendidikan tidak lagi ditangani oleh mereka yang memegang teguh filsafat tentang pencapaian kehidupan yang baik, atau warga negara yang peduli pada pendidikan kewarga-negaraan, tetapi oleh para administrator pendidikan dengan muatan pikiran dan orientasi sebagaimana dalam industri-industri lain, yaitu: keuntungan.

Jumat, 10 Desember 2010

HUBUNGAN NILAI TUKAR DAN TINGKAT SUKU BUNGA TERHADAP RETURN SAHAM

A. Hubungan Nilai Tukar dengan Return Saham
Nilai tukar merupakan harga mata uang suatu negara yang dinyatakan dalam mata uang negara lainnya (Madura, 1995). Nilai tukar berubah karena adanya faktor yang mempengaruhi yaitu tingkat inflasi, tingkat suku bunga riil, pertumbuhan ekonomi, aliran modal, independensi bank sentral, dan risiko ekonomi dan politik (Shapiro, 1997). Risiko nilai tukar sangat berkaitan dengan fluktuasi nilai tukar mata uang domestik dengan nilai mata uang negara lain. Bagi perusahaan yang berorientasi ekspor, depresiasi terhadap nilai mata uang memberikan pengaruh yang menguntungkan bagi perusahaan. Hal ini dikarenakan kemampuan bersaing harga pokoknya di pasar internasional meningkat. Peningkatan ini selanjutnya akan memperbesar peluang perusahaan untuk menghasilkan laba dan meningkatkan kemampuan dalam memberikan dividen. Kemampuan menghasilkan laba dan membagikan dividen akan menarik minat investor sehingga harga saham naik. Kenaikan harga saham akan meningkatkan return yang diperoleh oleh investor.
Choi dan Prasad (1995) mengembangkan sebuah model dan menyelidiki sensitivitas nilai tukar pada 409 perusahaan multinasional Amerika. Mereka menemukan indikasi bahwa perubahan nilai tukar mempengaruhi nilai perusahaan. Mereka juga menemukan bahwa 60 persen perusahaan mempunyai exposure nilai tukar yang signifikan.
Sebagian besar studi-studi mengenai exposure nilai tukar diukur dengan menggunakan analisis regresi dengan menggunakan return saham. Jorion (1990) membuat suatu model yang menggunakan penambahan return pasar untuk mengendalikan pergerakan pasar.
Shapiro (1997) menjelaskan bahwa risiko pertukaran ditinjau sebagai kemungkinan bahwa fluktuasi mata uang dapat mengubah jumlah yang diharapkan atau perubahan arus kas perusahaan di masa yang akan datang. Fluktuasi perubahan nilai tukar akan menimbulkan risiko dimana semakin tinggi fluktuasinya maka risikonya akan semakin besar, dan sebaliknya semakin rendah fluktuasinya maka risikonya akan semakin kecil. Risiko nilai tukar uang akan menimbulkan laba dan rugi bagi perusahaan. Penelitian Chandrarian dan Tearney (2000) menemukan bahwa ada pengaruh laba atau rugi nilai tukar terhadap reaksi pasar modal.
Dari uraian di atas menunjukkan bahwa hubungan nilai tukar uang dengan pasar modal adalah berkorelasi positif.
Hubungan risiko nilai tukar dengan kinerja perbankan adalah ketika nilai tukar berfluktuasi maka akan memengaruhi likuiditas sebuah bank dan kegiatan ekonomi melalui perubahan perilaku perbankan dalam pemberian kredit kepada nasabah. Bank-bank besar yang mendanai proyek miliaran kadang-kadang meminjamkan uang dalam bentuk dolar. Ketika nilai tukar dolar terhadap rupiah melemah atau menurun, bank mengalami risiko nilai tukar karena perusahaan menikmati penurunan harga dolar. Perusahaan membayar hutang kepada bank lebih sedikit karena dolar bisa didapat dengan uang rupiah yang lebih sedikit ketika dikonversi. Sedangkan bank mengalami risiko nilai tukar karena harus membayar rupiah yang lebih banyak kepada deposan ketika bank mengkonversi dolar yang dibayarkan oleh kreditur. Ketika nilai tukar berfluktuasi, bank akan lebih selektif dalam mengucurkan kredit. Hal ini mendorong para investor untuk mengusulkan proyek yang menjanjikan tingkat hasil tinggi tetapi dengan risiko yang tinggi pula (moral hazard) sehingga risiko kredit macet meningkat. Kredit macet membuat kinerja bank menjadi menurun karena harus bergelut dengan debitur-debitur nakal dan membuat reputasi bank menjadi turun pula. Dampaknya bank dapat mengalami risiko kebangkrutan (default risk) karena tidak dipercaya oleh nasabahnya dan mengakibatkan harga saham bank menurun. Return saham bank juga ikut turun karena investor tidak mau menginvestasikan uangnya dengan membeli saham bank tersebut.
B. Hubungan Tingkat Suku Bunga dengan Return Saham
Harga sebuah saham dipengaruhi tingkat suku bunga. Pengaruh tersebut bersifat negatif, jika tingkat suku bunga naik maka harga saham mengalami penurunan. Tingkat suku bunga yang meningkat akan berdampak pada suku bunga pinjaman yang naik. Suku bunga simpanan naik mengakibatkan meningkatnya pula tingkat suku bunga kredit oleh bank, sehingga biaya bunga yang ditangung oleh para debitor yang sebagian besar pada sektor usaha menjadi semakin besar, hal ini mengakibatkan penurunan tingkat laba bahkan perusahaan bisa merugi. Perusahaan yang mengalami risiko suku bunga, harga sahamnya akan turun karena investor melihat perusahaan tersebut memiliki prospek yang tidak bagus. Pengertian bunga menurut Siamat (2001) dari sisi permintaan adalah biaya atas pinjaman, artinya sejumlah uang yang dibayarkan sebagai imbalan atas penggunaan utang yang dipinjam. Bunga dari arti sisi penawaran bunga adalah pendapatan atas pemberian kredit, artinya pengalokasian dana yang memberikan pembayaran bunga yang lebih tinggi. Sedangkan menurut Sundjaja dan Barlian (2003), tingkat bunga adalah kompensasi yang dibayarkan oleh peminjam kepada yang memberi pinjaman.
Tingkat bunga merupakan harga yang terjadi di pasar investasi. Dalam lembaga keuangan, tingkat bunga berfungsi sebagai return atas tabungan yang dilakukan. Tingkat bunga merupakan harapan atas ekspektasi masyarakat di masa mendatang.
Dari beberapa uraian pendapat di atas dapat diambil simpulan bahwa bunga merupakan imbalan yang diberikan kepada seseorang atas sejumlah pinjaman atau tabungan, dimana besarnya ditentukan dalam bentuk prosentase.
Suku bunga dalam dunia perbankan dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
1. Suku bunga pinjaman
Merupakan suku bunga yang besarnya ditentukan oleh lembaga perbankan sebagai harga dari uang yang dipinjamkan kepada pihak lain. Bagi Bank, bunga dari pinjaman merupakan komponen pendapatan yang paling tinggi. Dari total pendapatan yang diterima, sekitar 86,5% dari bunga pinjaman dan sisanya berasal dari pendapatan jasa lainnya.
2. Suku bunga simpanan
Merupakan suku bunga yang ditentukan oleh lembaga perbankan sebagai harga dari uang nasabah yang disimpan di bank yang bersangkutan.
Suku bunga yang tinggi akan dapat menimbulkan beberapa hal, diantaranya adalah tingginya volume tabungan masyarakat. Makin tinggi tingkat suku bunga yang ditawarkan oleh bank akan mendorong masyarakat untuk lebih banyak menabung, artinya masyarakat cenderung akan mengurangi konsumsinya guna menambah saldo tabungan yang dimiliki. Suku bunga yang tinggi juga berdampak melonjaknya biaya modal perusahaan sehingga perusahaan akan mengalami persaingan dalam pendanaan, para investor cenderung memilih berinvestasi ke pasar uang atau tabungan dibandingkan di pasar modal. Sebaliknya, suku bunga yang rendah, baik suku bunga pinjaman maupun suku bunga simpanan, bagi perusahaan kondisi ini sangat menguntungkan karena perusahaan dapat mengambil kredit untuk menambah modal atau investasi dengan tingkat bunga yang rendah.
Pada penelitian yang dilakukan Wiyani dan Wijayanto (2005) menemukan bahwa secara simultan tingkat suku bunga deposito berpengaruh pada harga saham Bank BCA, BNI dan NISP. Pada tingkat suku bunga deposito, harga saham sangat terpengaruhi meskipun tingkat suku bunga deposito hanya mengalami perubahan sebesar 0.01%.
Ada dua faktor yang mempengaruhi harga saham, yaitu kondisi pasar modal dan kondisi pasar uang dan kredit dimana faktor yang kedua memiliki kecenderungan terhadap tingkat suku bunga.
Joehnk dan Petty (1980) menemukan bahwa harga saham dipengaruhi oleh perubahan tingkat suku bunga. Flanner dan James (1984) juga menemukan hal yang serupa pada institusi finansial. Sweenet dan Warga (1986) menemukan adanya hubungan tingkat suku bunga dengan harga saham pada saham di Amerika.
Faerber (2000) dalam penelitiannya mengatakan adanya korelasi yang kuat antara tingkat suku bunga dan pasar modal; rendahnya tingkat suku bunga berakibat positif terhadap pasar modal dan sebaliknya, peningkatan suku bunga akan berpengaruh negatif pada pasar modal.