Minggu, 19 Desember 2010

KEBIJAKAN PENDIDIKAN, ANTARA EKONOMI DAN POLITIK (Makalah pancasila)

Ketika istilah political economy of education digunakan sebagai kata kunci pencarian dengan sasaran situs global, misalnya, menunjukkan betapa telah cukup banyak tulisan dan hasil kajian ekonomi politik pendidikan. Namun demikian, ketika istilah ekonomi politik pendidikan digunakan sebagai kata kunci pencarian dengan sasaran situs-situs di Indonesia, tak satu pun tulisan dan hasil kajian berbahasa Indonesia yang dipublikasikan melalui internet. Istilah ekonomi politik terkesan belum begitu dikenal dan digunakan oleh para kritisi kebijakan pendidikan Indonesia. Kebanyakan kritik atas kebijakan pendidikan di Indonesia lebih bertumpu pada hasil perenungan, kesimpulan akal sehat, dan sedikit sekali yang mendasarkan diri pada kajian yang lebih makro seperti ekonomi politik pendidikan.
Layanan pendidikan niscaya memerlukan sumberdaya yang niscaya juga terbatas, maka telaah dan penyelesaian persoalan pendidikan juga memerlukan penghampiran analitik ekonomi. Diletakkan dalam perbincangan pendidikan di Indonesia, maka pertanyaan dasar ilmu ekonomi menjadi sangat penting. Mengkaji ekonomi pendidikan berarti menjelaskan dan menafsirkan perilaku manusia dalam mengambil keputusan tentang pengalokasian sumberdaya yang terbatas bagi pemenuhan kebutuhan akan barang dan jasa.
Andai Indonesia memiliki sumberdaya tak terbatas untuk dialokasikan dalam bidang pendidikan, suatu tinjauan ekonomi, politik, atau sekaligus ekonomi politik tidak merupakan suatu keharusan mendesak. Namun demikian, Indonesia jelas bukan suatu rumah-tangga dengan sumberdaya tak terbatas. Betapa alot negara-bangsa ini menetapkan undang-undang yang menegaskan prosentase anggaran minimum sektor pendidikan, serta betapa sulit negara-bangsa ini memenuhi ketetapan anggaran sebesar 20% dari total anggaran belanja negara, menunjukkan betapa tak seimbang antara sumberdaya yang tersedia dengan kebutuhan yang harus dipenuhi. Persoalan ini masih ditambah dengan kenyataan akan perbedaan cara pandang dan kepentingan di kalangan para pengambil kebijakan. Karena itu, suatu kajian berpenghampiran ekonomi politik, baik sebagai dasar maupun sebagai kritik kebijakan dan praksis pendidikan perlu dilakukan.
Kajian ekonomi pendidikan, merujuk pada dasar ilmu ekonomi, meneliti cara-cara rumit masyarakat untuk menjawab dan menentukan tiga persoalan, yaitu:
1. layanan pendidikan macam apa dan seberapa banyak yang harus disediakan?
2. dengan perpaduan cara-cara, sarana dan prasarana apa saja layanan pendidikan disediakan?
3. bagaimana pula layanan pendidikan akan disalurkan kepada pribadi-pribadi atau kelompok warga masyarakat? Siapa memetik manfaat dan siapa membayar tagihan?
Kehadiran dan kebutuhan akan penghampiran ekonomi terhadap pendidikan telah memperoleh pembenaran, tidak hanya pada aras mikro melalui konsep-konsep seperti pembiayaan pendidikan (educational cost), pemborosan dalam pendidikan (wastage in education), efisiensi internal (internal eficiency), tingkat keuntungan individual (individual rate of return), dan tingkat keuntungan sosial (social rate of return), tetapi juga pada aras makro seperti konsep-konsep investasi sumberdaya manusia (investment in human capital), permintaan dan penawaran (demand and supply), limpahan kemanfaatan sosial (social spillover benefits), biaya tersurat (explicit costs), biaya tersirat (implicit costs), penumpang gelap (free riders) dan sebagainya.
Kembali kepada pertanyaan apakah layanan pendidikan merupakan jasa publik atau pribadi, telah menyisakan satu lagi persoalan yang lebih bermuara pada politik. Perbedaan mendasar antara penghampiran ekonomi dengan penghampiran politik terletak pada ranah kepentingan para pelaku masing-masing. Kalau perilaku masyarakat ekonomi (economic society) niscaya berpaling kepada pertanyaan pengorbanan pada keuntungan, maka perilaku masyarakat politik (political society) senantiasa memusatkan perhatian kepada pertanyaan penggunaan pada pengendalian kekuasaan.
Perilaku politik warga masyarakat politik, merujuk pada teori pilihan rasional (rational choice theory) dan teori pilihan publik (public choice theory), dipandu oleh kehendak mencapai tujuan dengan cara paling cepat dan pengorbanan paling sedikit. Dengan demikian, kaidah dasar perilaku ekonomi juga berlaku dalam perilaku politik. Ekonomi politik, sebagai bidang kajian yang mensepadankan perilaku ekonomi dengan perilaku politik, merupakan penggunaan konsep-konsep ekonomi untuk memahami dan menjelaskan masalah-msalah dan proses-proses politik. Ekonomi politik, karena dilandasi oleh pemikiran akan tali-temali antara gejala politik dan gejala ekonomi, juga menunjuk pada analisis kebijakan publik dengan menekankan faktor-faktor ekonomi politik.
Bila pengalokasian sumberdaya untuk sektor pendidikan diawasi sebagai bagian dari kebijakan ekonomi negara, maka setiap perumusan, pelaksanaan dan bahkan pembahasan tentang kebijakan ekonomi negara, tidak bisa dipisahkan dari persoalan politik, khususnya keberadaan dan ketiadaan otonomi negara dalam tikaian kepentingan kelas masyarakat. Sebagai ranah pokok politik, kekuasaan tidak lain adalah kekuatan pemaksa untuk mempengaruhi orang lain dan keputusan untuk mengalokasikan sumber-sumber.
Kendati persoalan otonomi negara telah lama diperbincangkan, tidak ada teori tunggal yang mampu menjelaskan tali-temali negara dengan kelas masyarakat atau kelompok kepentingan. Persoalan terus bergulir, karena setiap negara memiliki kendali maksimal atas sumberdaya dan kekuasaan. Jadi jelas bahwa kehadiran negara sama sekali tidak bisa dihindarkan dalam menjelaskan hubungan antar kelas masyarakat. Lebih-lebih secara nyata, negara selalu berarti sejumlah orang yang melaksanakan fungsi pemerintahan. Mereka adalah para individu pengambil kebijakan, para birokrat dan para administrator yang karena kedudukannya memiliki kewenangan atas orang lain dan sumberdaya lain.
Dari arah sebaliknya, pertemuan antara teori politik dan ekonomi menetapkan lapangan kajian ekonomi politik yang menyangkut pertanyaan tentang bagaimana di satu pihak, kekuatan-kekuatan ekonomi menciptakan dan menstrukturkan kekuasaan politik, dan di lain pihak, bagaimana sistem politik berperan menentukan rasionalitas ekonomi.
Setelah mencermati bagaimana kekuatan ekonomi mempengaruhi arah kebijakan pendidikan, para pengkaji ekonomi politik pendidikan sampai pada simpulan bahwa sekolah ikut bertanggungjawab terhadap alokasi peluang ekonomi karena sekolah ada dan diadakan untuk meningkatkan nilai ekonomi peserta didik yang lulus. Walaupun sekolah bisa saja menjadi tangga bagi para pendaki kelas sosial, tetap saja ada cukup bukti bahwa sekolah berperan melanggengkan dan mereproduksi struktur kelas sosial.
Secara teoretik, kancah hubungan antar kelas ekonomi masyarakat memberi tiga kemungkinan kedudukan dan peran negara. Kemungkinan pertama, menggunakan istilah kasar Marxisme, bisa saja negara menjadi panitia pelaksana kelas borjuasi dan kelas penguasa (an executive committee of the bourgeoisie and ruling class). Negara semata-mata melakukan pemerasan terhadap kelas social atas. Secara idealistik, ini tampil dalam ideologi dan sistem ekonomi liberalisme dan kapitalisme.
Kemungkinan kedua, negara dikuasai oleh kelas social atas, sehingga mampu memaksa kelas borjuasi untuk tunduk pada kepentingan kelas proletar. Bila diperlukan, apa pun barang modal yang memungkinkan para pribadi-pribadi melakukan pemerasan terhadap orang lain, diambil alih hak pemilikannya oleh negara sebagai representasi masyarakat (society) atau komunitas (community). Secara idealistik, ini tampil dalam ideologi dan sistem ekonomi sosialisme dan komunisme.
Kemungkinan ketiga, negara diperlakukan sebagai sesuatu (entity) yang memiliki otonomi tersendiri. Menurut gagasan ini, negara bukan merupakan pelaku pasif di tengah berbagai kelompok kepentingan yang bersaing secara horizontal, bukan pula suatu panitia pelaksana kelas penguasa, tetapi lebih merupakan kekuatan dinamik yang independen
1. The Economic Role of the State
Sebagai tipe ideal, model peran ekonomi negara memang sulit diamati dan ditemukan sebagai gejala empirik. Sebab, apa yang sebenarnya sedang berlangsung adalah tarik-ulur kepentingan dalam proses penyusunan kebijakan publik dengan negara tidak hanya sebagai aktor dengan kepentingan tersendiri, tetapi juga menjadi perebutan kekuasaan, serta persaingan dan pertikaian antar kepentingan.
Secara linier, proses pengambilan kebijakan berangkat dari para pakar yang mengembangkan prediksi dan preskripsi sebagai masukan bagi pengambil kebijakan. Dalam proses penetapan kebijakan ini, tarik-ulur kepentingan terjadi antara: (1) kekuatan-kekuatan yang berpusat pada masyarakat, yakni kelas-kelas masyarakat, kelompok kepentingan, partai politik dan para pemilih, dan (2) kekuatan-kekuatan berpusat pada negara, yakni teknokrat, birokrat, dan kepentingan negara.
Menurut pendekatan yang berpusat pada masyarakat, negara bersifat pasif. Ada masukan masyarakat kepada pemerintah, sehingga pilihan kebijakan merupakan suatu ubahan bergantung (dependent variable). Kebijakan ekonomi yang diambil oleh pemerintah merupakan wujud dari kehendak dan tuntutan kekuatan-kekuatan dalam masyarakat. Sebaliknya, pendekatan yang berpusat pada negara memandang bahwa negara memiliki tujuan tersendiri. Tidak hanya karena negara bersifat otonom, tetapi juga karena secara empirik para elit politik memang bersifat aktif.
2. The Policy Formation Prosess
Model teoretik yang diperkenalkan oleh para penggagas ekonomi politik baru tersebut bisa digunakan untuk mencermati, misalnya tarik-ulur antara pranata politik seperti partai politik dan lembaga legislatif, lembaga eksekutif seperti Presiden dan Wakil Presiden serta para pejabat negara lainnya, lembaga judikatif seperti Mahkamah Konstitusi, dan kekuatan berpusat pada masyarakat seperti Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) serta Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI).
Wakil Presiden Jusuf Kalla mengungkapkan pemerintah masih sulit merealisasikan anggaran pendidikan 20% dan belum dapat memastikan kapan bisa memenuhi anggaran tersebut. Wapres mengungkapkan hal itu usai membuka program kaderisasi bidang pendidikan Partai Golkar di Jakarta, Senin (17/4). “Pasti kita berkewajiban memenuhinya. Tapi, kondisi kita masih sulit. Walaupun suka tidak suka keputusan MK itu harus dipenuhi,” ujar Jusuf menjawab pertanyaan Media Indonesia.
Pada saat UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) disahkan, pemerintah berkomitmen anggaran 20% yang diamanatkan UU tersebut baru akan dipenuhi pada 2009 lalu. Namun, keputusan itu kemudian digugat Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) serta Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI).
Kedua organisasi itu mengajukan gugatan pada Mahkamah Konstitusi. Maret lalu, MK mengabulkan tuntutan keduanya. Sehingga, pemerintah wajib memenuhi anggaran 20% itu pada saat keputusan itu dikeluarkan. Sehingga, pemerintah saat ini diwajibkan meningkatan persentase anggaran pendidikan dua kali lipat mengingat dana yang dialokasikan pada 2006 hanya 9,1%.
Kalla menegaskan, keputusan MK tersebut harus disesuaikan dengan kondisi keuangan pemerintah saat ini. Jika pemerintah memaksakan memenuhi tuntutan MK tersebut saat ini, pemerintah terpaksa harus menutup anggaran untuk sektor yang lain. Padahal, alokasi anggaran untuk pembangunan di sektor-sektor lainnya, termasuk kesehatan serta penyediaan infrastruktur tak kalah pentingnya. Ketika ditanya apakah pemerintah akan melakukan percepatan pemenuhan anggaran 20% itu, Wapres mengaku belum dapat memastikannya (Media Indonesia On-line, Senin, 17 April 2006).
Secara normatif, praktik ekonomi politik Indonesia tidak berkehendak menjadi negara eksploitatif. Ini tampak dari komitmen tertulis untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat, dan menempatkan pencerdasan bangsa serta kesejahteraan umum sebagai tujuan negara. Karena itu, pada dasarnya Indonesia bermaksud menjadi salah satu dari negara demokrasi sosial (social-democratic state) atau negara kesejahteraan (welfare state), yakni negara dengan pemerintah yang mempersembahkan suatu proposi sangat besar dari kegiatan dan pengluarannya bagi penyediaan secara langsung barang dan jasa untuk dikonsumsi oleh individu atau keluara yang memenuhi syarat kualitatif.
Kebijakan pemberian subsidi Biaya Operasional Sekolah (BOS) menegaskan bahwa pendidikan merupakan layanan publik yang karena itu Indonesia menganut prinsip negara kesejahteraan. Subsidi pemerintah, mengikuti gagasan dasarnya, seharusnya membantu memungkinkan suatu badan usaha untuk menjual satu atau lebih produk mereka dengan harga di bawah biaya produksi atau sekurang-kurangnya di bawah harga pasar bebas.
Subsidi secara khusus dialokasikan untuk mempromosikan agar terjadi konsumsi yang lebih meluas terhadap barang atau jasa yang oleh pemerintah dinilai amat penting atau sangat bernilai.
Kalau sektor kesehatan dan pendidikan mendapatkan subsidi pemerintah, misalnya, itu diyakini bahwa pendidikan sangat diperlukan untuk kesejahteraan pribadi dan sosial. Sebaliknya, bila kesehatan dan pendidikan tidak cukup memperoleh subsidi pemerintah, yang berarti diserahkan saja kepada mekanisme pasar, menunjukkan bahwa pemerintah kurang memberi bobot besar terhadap layanan pendidikan dan kesehatan. Karena itu, organisasi ekonomi pendidikan, apakah lebih mengandalkan subsidi pemerintah atau pembiayaan pribadi, terbentuk baik oleh kekuatan politik maupun kekuatan mekanisme pasar.
Secara teoretik, penyediaan pendidikan publik akan menghasilkan proses pengalihan sumberdaya dari individu-individu berpenghasilan lebih tinggi kepada mereka yang berpenghasilan lebih rendah. Negara, dalam konteks demikian, digambarkan sebagai bentuk pelembagaan nilai-nilai altruistik, karena mengelola hasil perilaku altruistik warga negara yang kaya untuk disebarkan kembali demi pemberdayaan yang miskin. Namun demikian, selalu saja muncul pertanyaan: benarkah aliran sumberdaya dari yang lebih kaya kepada yang lebih miskin tersebut terjadi? Apakah bukan sebaliknya yang secara empirik terjadi?
Perlombaan besar-besaran berbagai biaya pendidikan yang harus dibayar oleh peserta didik dengan nama-nama aneh antar lembaga pendidikan mengesankan bahwa pendidikan merupakan layanan pribadi yang mutu dan harganya diserahkan kepada mekanisme pasar. Ini mengesankan bahwa pendidikan telah menjadi lahan bisnis yang cukup menjanjikan, terutama bila dimaksudkan untuk melayani kelas mapan.
Ada dampak memprihatinkan dari pertumbuhan industri pendidikan ini, yaitu bahwa pendidikan tidak lagi ditangani oleh mereka yang memegang teguh filsafat tentang pencapaian kehidupan yang baik, atau warga negara yang peduli pada pendidikan kewarga-negaraan, tetapi oleh para administrator pendidikan dengan muatan pikiran dan orientasi sebagaimana dalam industri-industri lain, yaitu: keuntungan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar